Hampir setiap mahasiswa Biologi semestinya pernah punya pengalaman serba ter: ter-indah, memalukan, lucu, hingga ngeselin ketika melakukan kunjungan lapangan. Dengan catatan: ini berlaku sebelum masa occupancy miss corona ya. Saya sendiri punya beberapa koleksi pengalaman ter-absurd yang malu-tidak-malu, akan saya bagi di sini.
Pengalaman ini sebetulnya terjadi di bangku SMA, ketika Kelompok Karya Ilmiah Remaja (KIR) sekolah saya berkesempatan mengirimkan dua perwakilan siswa untuk ikut ekspedisi ke lapangan dengan SMA lain (yang tampaknya sudah lebih progresif kegiatan KIR-nya dari kami). Ekspedisi ini dilakukan di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, selama sekitar 10 hari. Agak lupa sih waktu itu survei apa saja, yang saya ingat ada praktek point sampling untuk survei biodiversitas tumbuhan.
Nah, suatu ketika saat sedang berjalan dari satu base camp ke base camp lain, yang lumayan jauh dan disengat terik matahari, air minum di botol saya habis. Haus mencekat kerongkongan, serasa sudah sampai di pinggir neraka saja, yang terpikirkan hanyalah air minum.
Di tengah perjalanan, saya menemui air kubangan (genangan) di jalan beraspal. Otak ini berpikir sekali-dua kali, menimbang-nimbang, apakah akan saya minum air kubangan ini… sepertinya sih aman, terlihat jernih kok. Entah kenapa, mungkin akibat dehidrasi dan panas udara, membuat otak saya tidak tambah pintar (baca: tambah bego), ditambah kepercayaan diri yang tinggi, yang merasa kebal terhadap kuman. Saya seetrooong! Demikian mantra yang saya ucapkan sendiri, sambil meminum air genangan itu dengan tenang demi memuaskan dahaga.
Malamnya saya sama sekali tidak tenang, oleh karena mengalami diare berat. Mondar-mandir sampai 7 kali, dari kamar tidur di base camp ke toilet seadanya yang berada di luar. Saat malam banyak babi hutan berkeliaran di sekitar base camp. Teman sesama wakil satu SMA saya, nasibnya kurang baik saat itu, dia terpaksa, demi menerapkan semboyan senasib sepenanggungan (mudah-mudahan dia tidak dendam), menemani saya bolak balik ke toilet, sambil mengarahkan senter ke area luar toilet untuk memastikan tidak ada babi hutan yang mendekat.
Begitulah akibatnya jika berlagak menjadi manusia paling kebal sedunia. Untungnya, di rombongan guru, ada yang dapat meracik obat anti diare yang sama fungsinya seperti Imodium. Akibat pengalaman buruk ini, sekarang kemana-mana saya selalu bawa Imodium.
Menjadi follower sejati Burung Bee Eater
Pengalaman ini terjadi saat saya masih lucu-lucunya kuliah di Biologi dan berhasil bolos untuk ikut kesempatan bergabung dalam Ekspedisi Wallacea ke Taman Nasional Rawa Aopa di Sulawesi Tenggara. Ekspedisi ini bertujuan untuk melakukan inventaris jenis-jenis burung di wilayah survei, yang diselenggarakan oleh 4 mahasiswa dari Leeds University di UK.
Syarat untuk dapat melakukan survei di Indonesia antara lain mereka harus mengajak counterparts lokal. Seorang senior kemudian berbaik hati menawari saya dan teman saya untuk melamar menjadi counterparts. Jadilah saya pergi berdua lagi, namun kali ini saya sudah agak pinteran.
Sekarang saya sudah tahu (belajar dari ekspedisi ini), karena kami berpindah-pindah base camp, maka tidak selalu punya waktu untuk memasak air, maka kami mencari air yang mengalir (ingat bukan yang menggenang!), yang secara fisik jernih dan tidak berbau, untuk ditampung di botol minum. Perlakuan selanjutnya diberikan tablet purified waters yang mirip Redoxon, tapi tidak berwarna. Rasanya? Tidak enak, tetapi membuat air menjadi aman diminum.
Taman Nasional Rawa Aopa ini panasnya melebihi Way Kambas, karena habitatnya sebagian besar adalah padang savanah. Banyak sekali burung-burung cantik yang berhasil kami identifikasi. Suatu saat, dengan dipandu guide lokal, kami melakukan perjalanan masuk ke hutan dataran rendah. Lumayan ada pohon-pohon yang melindungi panas matahari. Namun karena jalannya setapak, maka kami berjalan berurutan satu per satu macam kereta api. Saya berjalan nomor dua, persis di belakang guide kami.
Di tengah perjalanan, guide kami tanpa sengaja menginjak sarang tawon kepala yang bersarang di atas tanah dekat sebuah pohon. Keluarlah para prajurit tawon dari sarangnya dengan marah, dan karena pak guide berhasil lolos karena posisi sudah di depan, saya yang jalan nomor dualah yang kena imbasnya. Jangan tanya yang di belakang saya, semuanya kaburrr…yes, those all 4 gentlemen from UK and my own friend from college sukses menghindar dengan lari tunggang langgang!
Ada sekitar 10 tawon menyengat kepala dan tangan saya (sekarang paham kan kenapa disebut tawon kepala). Saya sempat kabur ke sungai berendam dan akhirnya tawon itu pergi. Malamnya saat kami camping di tepi sungai, saya menegak aspirin dua butir, karena lumayan berasa sakit ya. Kepala dan kelopak mata saya bengkak, akibat sengatan.
Teman-teman ekspedisi saya menghibur saya dengan kata-kata you are so brave bla bla bla. Sementara pak guide menceramahi: “makanya dek jangan pernah jalan nomor dua, pamali… jika orang pertama yang jalan duluan tahu-tahu mengusik binatang, yang nomor dualah yang kena, seperti kena entup tawon, atau digigit ular”.
OK jadi moral of the story mungkin lain kali harus gambreng dulu untuk mau jadi yang nomor dua di barisan. Jangan mentang-mentang saya perempuan satu-satunya mendapatkan privilege di barisan nomor dua hadeuh!
Dua hari berikutnya, semuanya menjadi lebih baik, terutama ketika saya melihat Burung Bee-Eater terbang dan hinggap di dekat kami.
“Oooo…Burung Bee-Eater, kamulah pahlawan sesungguhnya, ijinkan kumengagumimu, kuberikan hatiku dengan penuh ketulusan atas jasamu memangsa tawon dan lebah…” Senandungku di antara suara senar gitar yang dipetik pak guide. Mudah ditebak, sejak saat itu burung favorit saya adalah Burung Bee-Eater, dan bisa dikatakan saya menjadi follower sejatinya, karena kemana kami pergi saya selalu mencarinya. Terlebih, kelompok Burung dari Famili Meropidae ini sangat cantik warna bulunya!
Oleh Kiki Anggraini, Biologi 92