Source: Rotten Tomatoes

Genre (Science) Fiction Pada Film

Oleh: Kiki Anggraini (B92), pengamat film

Tak jarang kita merasa tergugah dan terinspirasi selepas menonton sebuah film.  Sebaliknya, banyak film dibuat karena sutradaranya tersentuh pada sebuah kisah nyata, atau, yang lebih ajaibtakjub dengan suatu teori ilmiah:  terinspirasi pada sebuah teori ataupun fakta ilmiah.  Kita mengenal film seperti ini sebagai bergenre science fiction atau fiksi ilmiah.  

Sayangnya, tak jarang label fiksi ilmiah seringkali hanya digunakan sebagai gimmick agar terkesan keren, cerdas, dan visioner.  Kenyataannya masih lebih berat ke ke fiksi, daripada fantasi yang dilandasi secuil teori ilmiah ilmiahnya.  Contohnya film bertemakan time travel.  Meskipun landasan teori ilmiahnya sangat lemah, tema perjalanan waktu laris manis seperti jajanan takjil mendekati waktu berbuka puasa.  Sebut saja Back to the Future yang dibuat berseri lintas waktu masa depan dan masa lalu, Groundhog Day, The Time Traveler’s Wife, Primer, 12 Monkeys, dan para pengikutnya. Di koleksi layanan streaming tercatat serial Dark (Jerman) dan Tunnel (Korea Selatan).  Yang terakhir ini bahkan sudah dibuat adaptasinya dengan Jogjakarta sebagai latar. 

Penjelasan tentang bagaimana perjalanan waktu dilakukan, boro-boro berbau ilmiah, malah mohon maaf, terkesan too silly to be true: masuk ke mesin waktu, naik kendaraan yang melaju mendekati kecepatan sinar, bahkan cukup masuk ke terowongan, dan voila! Tahu-tahu sampailah kita di masa lalu, masa depan, atau masa-masa indah bersamamu (ups maaf jika saya menjadi latah).

Film fiksi ilmiah bertemakan Artificial Intelligence juga sangat seksi.  Sebut saja AI, Ghost in the Shell, Ex- Machina.  Film yang melibatkan space travel seperti Star Trek, Star Wars, Guardian of Galaxy, dan banyak contoh lainnya, juga meraup banyak penggemar fanatik.  Lagi-lagi, label ilmiah yang disandingkan ke fiksi hanya sebagai gimmick.  

Lalu (sambil garuk-garuk dagu karena garuk-garuk kepala terlalu mainstream) adakah film yang benar-benar serius mengeksplorasi science facts?  

Ada, meski tak banyak salah satunya adalah Interstellar (2014).  Sutradaranya bahkan merekrut konsultan khusus yang merupakan ahli astrofisika.  Untuk film yang idenya nyeleneh, coba tonton Coherence (2013). Film yang menuturkan fenomena fisika kuantum,  elektron dapat berada di dua tempat sekaligus (superposition) dan kemungkinan adanya dunia yang paralel, yang kemudian dialami oleh karakter dalam film. 

Terakhir, film fenomenal  Tenet  (2020) yang mengisahkan kemampuan manusia membalikkan energi (entropi) sehingga dapat mengubah sejarah dan dunia dengan teknologi.  Dibintangi Robert Pattinson, Aaron Taylor-Johnson, dan aktor senior Kenneth Branagh, Tenet menyihir banyak penonton untuk kemudian mengulasnya lebih serius di berbagai forum.  Meski tidak sedikit yang menganggap terlalu rumit untuk dicerna.  Tayang di bioskop, Tenet juga sudah hadir di salah satu layanan streaming secara eksklusif. 

Lalu (kali ini sambil garuk-garuk telinga) apa kaitannya dengan biologi?

Ada banyak film yang berkaitan tentu saja dengan tema yang beragam: di genre alien dan mutasi gen ada Alien, Men In Black, X-Men universe, serta Lucy.  Tema lainnya ada exobiology yang diwakili The Martians (2015) dan Arrival (2016).  , uUntuk kategori bird watching sebut saja The Big Year (2011),  Gattaca (1997) mewakili genetika, Mission Impossible-2 (2000) untuk tema bioterrorism, tema cloning di Gemini Man (2019) dan.   Gattaca (1997).

Evolusi dan mutasi sepertinya cukup gurih digarap ke layar lebar. Tak cukup dengan X-Men, Annihilation dirilis pada 2017 meski menurut saya film ini lumayan absurd. Nah kalau bicara evolusi, sudah pasti Rise of The Planet of Apes di tahun yang sama langsung muncul di benak, meski agak ngawur menurut saya. 

Yang kembali hangat tentu saja Contagion.   Bertabur bintang, film yang dirilis 2011 ini seperti memprediksi pandemi 2020. Belum nonton?  Jangan khawatir karena bisa diakses secara legal (lagi-lagi di layanan streaming).  Judul-judul ini barangkali ibarat pixel dari sebuah komputer raksasa. Masih banyak banget film yang relevan dengan kehidupan biolog.  

Kalau kamu menganggap film-film tadi masih terlalu jauh untuk dikategorikan sebagai ilmiah, kali ini pasti akan setuju kalau saya merekomendasikan film dokumenter tentang wildlife yang tayang di  saluran Animal Planet Channel serta yang baru saja membawa pulang piala Oscar: My Octopus Teacher. Menariknya, meski ber-genre dokumenter film-film ini nggak membosankan buat ditonton. 

Lantas, (sambil ngunyah popcorn), ada nggak film yang terinspirasi dari biologi dan digarap lebih serius?

Ada dong! Jurassic Park (1993) yang diangkat dari novel berjudul sama karya Michael Crichton contohnya.  Besutan Steven Spielberg (siapa yang nggak kenal tangan dinginnya) ini sangat populer hingga dibuat dalam banyak versi hingga nyaris membentuk cinematic universe sendiri. Sayang, sekuel maupun series-nya nggak cukup punya taji. 

Terlepas dari itu, Jurassic Park didasari oleh ide menghidupkan kembali hewan punahdinosaurus lewat ekstraksi DNA purbanya.  DNA purba dinosaurus tersebut ada di tubuh  serangga yang dulu pemenghisap darahnya,  serangga tersebut kemudian yang terperangkap dalam fosil resin (amber). Kondisi ini memungkinkan DNA tetap terlindungi meski melewati puluhan hingga ratusan juta tahun.  Buat peneliti, hal ini bagaikan menemukan harta karun!

Ini bukan ide ngadi-ngadi loh. George Poinar Jr, ahli entomologi, melakukan studi pada serangga di fosil resin berusia 40 juta tahun dan menurutnya ekstraksi DNA tersebut mungkin saja dilakukan. Bisa jadi, inilah yang menginspirasi Crichton menulis Jurassic Park.  Di film, DNA salah satu spesies dinosaurus dari masa Cretaceous yang ada dalam darah serangga yang terperangkap di fosil resin kemudian diekstraksi.  Tahap selanjutnya adalah DNA sequencing dan  dan dilakukan penambahan DNA katak untuk melengkapi menambal bagian yang hilang.

Untuk menghidupkannya, DNA yang sudah disambung ini lalu diinjeksikan ke kuning telur artifisial hingga tumbuh dan berkembang menjadi embrio, menetas, dan selanjutnya seperti yang kamu saksikan dalam film.  Dinosaurs reborn for the first time!. Secara ilmiah, mungkin nggak sih?

Sayangnya, nggak semudah itu mengekstraksi DNA purba gak semudah mutusin pacar yang telah selingkuh beberapa kali (meski yang kedua itu mungkin susah juga ya) Fulgoso!  Studi lanjutan oleh Raul Cano pada 1993 menunjukkan proses ini berdampak pada rusaknya spesimen serangga.  Masalah lainnya, DNA yang diekstraksi rentan terkontaminasi di laboratorium.  Kesimpulannya: ekstraksi DNA dari fosil resin sangat sulit dilakukan. 

Hal lain yang membuat Jurassic Park lebih sulit lagi direalisasikan adalah temukan dari palaeo geneticist Morten Allentoft bahwa DNA juga memiliki batas usia.  Diperkirakan setelah 521 tahun, setengah dari ikatan nukleotida pada fosil akan terdegradasi.  Di 521 tahun berikutnya, setengahnya akan berkurang dan semua ikatan diperkirakan akan hancur setelah 6,8 juta tahun. 

Lalu, adakah DNA purba yang berhasil diekstraksi?  Kelihatannya cukup banyak uji coba yang dilakukan, terutama bukan berasal dari fosil resin melainkan fosil gigi.  DNA mammoth Siberia menjadi salah satu dari DNA purba tertua yang berhasil diekstraksi saat ini: dengan usia DNA sekitar 1,1 hingga 1,6 juta tahun. 

Terlepas dari kontroversi ini, Jurassic Park adalah film adaptasi komersil yang mau bersusah payah menjelaskan konsep ilmiah sesuai dengan bukunya, dengan tetap menghadirkan keseruan adegan-adegan laganya. mampu menjelaskan konsep (sedikit) ilmiah tentang membangkitkan kembali dinosaurus  Sepertinya, manusia memang terobsesi banget ya sama mahluk purba yang tinggal nama ini.   Pada jamannya saat film ini booming, saya jadi penasaran apakah cukup mengundang ketertarikan pada ada anak mahasiswa yang jadi tertarik dengan ilmu genetika setelah nonton film ini?  Film bergenre fiksi ilmiah ini adalah salah satu favorit saya, bagaimana dengan kamu?

Referensi:
https://www.smithsonianmag.com/science-nature/jurassic-park-reveals-delicate-interplay-between-science-and-science-fiction-180969331/
https://www.nature.com/news/dna-has-a-521-year-half-life-1.11555
https://www.nature.com/articles/d41586-021-00436-x