Kekuatan TikTok memang luar biasa.
Tak lagi melulu berisi tari-tarian, TikTok kini memuat banyak hal: OOTD, catatan harian, inspirasi, bioskop mini (bayangkan satu film dengan durasi puluhan menit dipecah jadi berapa konten post?), dan tentu saja review produk. Beauty care, termasuk rambut dan kulit, adalah dua yang cukup sering menularkan permintaan (demand) terhadap satu jenis produk.Salah satu yang menjamur sampai sekarang adalah perawatan keratin atau keratin treatment.
Diterapkan pada rambut dengan tujuan menciptakan kesan lurus, lembut, dan halus yang ideal seperti gambaran kecantikan jaman pujangga Balai Pustaka: bak mayang terurai (masih ingat ungkapan ini?). Jangan-jangan teman alumni Biologi termasuk salah satu yang terobsesi pada perawatan ini? 😁
Keratin treatment, menurut beberapa situs populer, merupakan rangkaian perawatan menggunakan krim khusus yang mengandung keratin. Secara singkat, rambut dilumuri krim keratin selama 30 menit. Ada yang menambahkan penggunaan alat pelurus rambut (catok) untuk menguatkan efek lurus. Entah berapa banyak persentase keratin dalam sekali pemakaian.
Kita tentu tidak akan membahas lebih dalam mengenai perlakuan setelah perawatan keratin agar keindahannya bertahan lama. Yang menarik bagi penulis adalah bagaimana keratin menjadi sedemikian populer.
Wikipedia dan Britannica menulis keratin sebagai protein struktural fribrosa dari keluarga skleroprotein yang juga merupakan materi dasar penyusun epitel kulit, rambut, dan kuku. Secara etimologis, keratin berasal dari bahasa Yunani “kertos” yang berarti tanduk atau keras.
Kumpulan monomer keratin atau filamen ditemukan pada epidermis yang disebut keratinocyte atau keratinosit. Ada dua jenis keratin yaitu α-keratins dan β-keratins. Rambut (termasuk bulu domba atau wool), kuku, tapak kuda, cakar, dan tanduk merupakan sumber α-keratins. Sementara β-keratins dapat ditemukan di sisik dan kuku reptil, cakar burung, cangkang penyu/kura-kura, duri landak, serta paruh dan bulu pada golongan Aves.
Baleen, bagian pada mulut paus yang berfungsi menyaring makanan, juga mengandung keratin. Para peneliti mengelompokkan silk fibroins yang dihasilkan oleh laba-laba dan beberapa jenis serangga sebagai keratin. Meskipun, tentu saja ada beberapa perbedaan struktur dan filogeni di tingkat molekul.
Di alam, keratin merupakan monomer ketiga terbanyak setelah selulosa dan kitin. Keratin juga tidak dapat dicerna oleh asam lambung sehingga jika tertelan akan dimuntahkan kembali. Pada manusia, dalam jumlah banyak bisa menyebabkan sumbatan yang disebut Rapunzel syndrome. Keratin bersifat biodegradable (dapat terurai secara biologis) dan memiliki biocompatibility yang unik.
Meski tidak beracun, produk buangan yang mengandung keratin bisa menimbulkan ancaman berupa timbunan pada landfill. Karena itu, pemanfaatan keratin melalui proses isolasi menjadi protein hidrolisat inilah yang kemudian menghasilkan zat tambahan (aditif) pada beberapa jenis kosmetik termasuk dalam perawatan rambut keratin treatment yang sedang in.
Berbeda dengan kondisi di alam, dalam bentuk isolat keratin mungkin saja mengandung senyawa yang berbahaya. Pada krim keratin treatment misalnya, dipastikan ada penambahan formaldehida. Pabrikan mungkin menggunakan formaldehida dalam jumlah yang aman sesuai aturan. Namun, beberapa salon kecantikan bisa saja menambahkannya secara berlebihan.
Formaldehida sendiri merupakan senyawa dalam bentuk gas yang berbau tajam dan bersifat karsinogenik. Beberapa efek samping dari formaldehida seperti mimisan dan masalah pernapasan juga mungkin timbul akibat terhirup saat perawatan. Karena itu, keratin treatment tidak dianjurkan bagi ibu hamil dan menyusui atau mereka yang sensitif serta memiliki masalah pada saluran napas.
Sumber: Britannica, Wikipedia, ThoughtCo, serta jurnal IPTEK ITS