Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang pengalaman sebagai mahasiswa ketika ke lapangan, bagian kedua ini ditulis untuk menuntaskan. Sebab, apa yang telah dimulai harus diselesaikan bukan?
Ketika Sungai di Dalam Hutan Tak Seindah Foto Kalender, dan Dendam Mendaki Hutan Harus Dibayar Tuntas
Apa yang terjadi ketika sudah berpeluh keringat jalan sejauh 5 KM lebih di dalam hutan, dan menemui sungai di stasiun riset kami, ternyata keruh berwarna coklat!
Perjalanan kali ini adalah untuk melakukan riset untuk skripsi saya. Lokasi riset di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Selama perjalanan saya sudah membayangkan sejuknya memandangi sungai yang jernih dan indah sebagaimana sungai yang ada di foto-foto kalender (jaman saya muda, kalender masih banyak yang dicetak). Imajinasi saya bukan tanpa dasar karena hutan yang akan saya kunjungi itu statusnya hutan perawan (pristine), meski letaknya di dataran rendah.
Nah, yang salah di sini adalah penggunaan kata ‘meski’, karena ternyata hutan dataran rendah itu memang memiliki sungai yang banyak unsur hara, sehingga warnanya pasti butek. Beda dengan hutan dataran tinggi, apalagi di negara iklim dingin yang ada es, maka sungainya jernih karena berasal dari es yang mencair. Jadi kata ‘meski’ di atas harusnya diganti dengan ‘akan tetapi’.
Saat datang di stasiun riset, kami terpaksa mandi di sungai itu, karena toilet masih dibangun. Baiklah, perlahan-lahan saya harus menerima bahwa selama 4 bulan ke depan, saya akan melihat sungai butek ini sebagai sungai yang indah.
Pengalaman berikutnya yang diceritakan di sini, langsung meringkas riset selama 4 bulan.
Senin menjadi hari yang paling dibenci, karena harus mendatangi transek paling jauh dari base camp dan banyak jalan yang mendaki. Selama berbulan-bulan riset menentukan keberadaan Burung Rangkong dan jenis-jenis pohon pakannya, menjadi hal yang membosankan. Bahkan sebelum riset dimulai, seminggu pertama di base camp, kami harus ‘kalibrasi’ soal jarak. Caranya? Kamu akan diminta melakukan estimasi jarak antara dirimu dengan sebuah pohon, setelah itu kamu cek langsung dengan meteran, apakah kamu cenderung over, atau underestimate. Setelah latihan berulang-ulang maka diharapkan kamu sudah bisa mengestimasi secara lebih akurat jarak burung rangkong maupun pohon pakannya, dari posisi kamu di transek.
Saat senja turun, karena listrik terbatas dari generator, maka kamar tidur kami hanya diterangi lampu minyak. Malam pertama dilewati tanpa lampu apapun, dan saya sendirian di kamar dalam gelap yang penuh, bahkan telapak tangan sendiri tak terlihat.
Semua kejemuan dan rasa lelah mengambil data dan mendaki hutan terbayar, bagai dendam yang dibayar tuntas. Ketika saya mengingat lagi, banyak hal indah dan unik yang tak akan pernah tergantikan:
- Mengintip seekor angsa putih mandi
- Hutan tempat riset kami sempat terbakar saat di tengah-tengah pengambilan data (bayangkan!)
- Kawanan gajah liar lewat stasiun riset kami pada suatu malam (untung stasiun risetnya dari rumah panggung!).Harap diketahui, yang paling dihindari dan ditakuti di hutan adalah gajah liar, karena mereka cukup berbahaya dan sensitif. Harimau ada, tetapi selain populasi tak banyak, mereka cenderung menghindari manusia
- Memergoki kucing mas yang langka, ketika berjalan ke arah transek sesaat setelah subuh
- Melakukan upacara kemerdekaan secara khidmat hanya berenam, lengkap dengan pengibaran bendera di atas pohon 🥲
- Menemukan cakar beruang di pohon yang kami lewati dan seekor gajah kecil sedang makan di balik belukar, sempat membuat senewen
- Hiburan berupa ‘orkestra’ alam pagi dan sore, saat burung-burung keluar sambil berkicau ditingkahi kawanan siamang bersuara bagaikan sebuah choir dengan kombinasi suara tinggi lirih dan nge-bass
- Menikmati suara burung rangkong dari jenis Buceros vigil yang di akhirnya akan terdengar seperti orang tertawa (persis seperti deskripsi di buku panduan burung)….kuuungg, kuuung, kuuuuuuuung kungkung…hahahaHAHAHAHA!!!
Bayangkan di tengah transek di dalam hutan, saat sedang sunyi hanya suara angin berdesir, tahu-tahu mendengar suara seperti itu, it’s exceptionally unique…
Ditulis oleh Kiki Anggraini, Biologi 92