Kak Kiki : Masa Depan Sumberdaya Perikanan Bergantung Pada Pengelolaan yang Berkelanjutan

Depok – Sore itu tanggal 9 April 2021, penulis berkesempatan untuk mewawancarai salah satu Alumni sarjana Biologi UI angkatan 1992 beliau adalah Kak Kiki Anggraini. Setelah menyelesaikan pendidikan S2 Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan UI, wanita kelahiran Jakarta ini aktif di isu kelautan dan perikanan, mulai dari mengelola kegiatan di LSM, memimpin sebuah program perikanan di asosiasi perikanan, dan mengelola foreign aid projects (salah satunya USAID-IMACS (Indonesian Marine and Climate Support) Project). Kini, Kak Kiki menduduki jabatan senior manager untuk proyek Sustainable Tuna Fisheries di sebuah LSM.

Sebelum Sustainable Development Goals yang merupakan inisiatif global diluncurkan pada Tahun 2015, pengelolaan sumberdaya berkelanjutan khususnya di bidang perikanan sudah lama dijalankan melalui berbagai inisiatif, baik di tingkat global, regional, nasional, maupun lokal. Di Indonesia sendiri, telah banyak upaya yang dilakukan oleh key stakeholders seperti pemerintah, akademisi, dan LSM untuk mengelola daerah pesisir dan laut agar sumber daya perikanannya terus berkelanjutan, terutama di tingkat lokal. Namun, bukan berarti tidak ada tantangan, sebaliknya banyak sekali tantangan yang dihadapi, dan banyak sekali aspek yang harus diperhatikan jika kita ingin pengelolaan berkelanjutan dapat berjalan dengan baik, seperti perlu dukungan data ilmiah, adanya konsep pengelolaan, peraturan, kelembagaan, pendanaan, dan lain sebagainya.

Jika berbicara pengelolaan perikanan, apa sih yang harus dikelola? Salah satunya wilayah lautnya sendiri yang harus dijaga, kemudian perlu mengatur seberapa besar pemanfaatan yang boleh dilakukan. Dengan kata lain, berapa sih jumlah ikan yang boleh ditangkap? Bagaimana jika dibebaskan untuk menangkap sebanyak mungkin? Nah, jika penangkapan tidak terkendali maka kita tinggal menunggu sumberdaya perikanan habis. Jadi, yang pertama kali kita harus tetapkan, adalah tujuan pengelolaan, misalnya untuk menjaga populasi ikan “A” melalui pemanfaatan yang berkelanjutan. Lalu bagaimana caranya? Salah satunya adalah pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur penangkapan. Jika kita berbicara sumberdaya perikanan di sini, maka pengertiannya luas, mencakup semua komoditi perikanan yang menjadi bagian dari sumber daya laut, bukan hanya spesies ikan, tetapi juga biota laut lainnya yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi.

Kalau dari yang saya pelajari, peraturan yang baik adalah yang berbasis data ilmiah, dan partisipatif. Secara sederhana, sebelum peraturan disusun, tahap pertama adalah pengumpulan data ilmiah seperti pendugaan populasi atau stok ikan, informasi dimana tempat memijah, panjang ikan saat dewasa dan lain sebagainya, yang tentunya berbeda-beda tergantung spesiesnya. Dari besarnya populasi, dilakukan penghitungan dan penentuan terhadap batas aman dalam penangkapan. Batas aman maksudnya, jika kita menangkap ikan pada jumlah di batas aman tersebut, maka asumsinya stok ikan akan pulih karena masih ada cukup banyak ikan di laut yang dapat memijah.

Dengan mengetahui panjang ikan saat dewasa, maka kita dapat menghindari menangkap ikan yang masih juvenile. Pada tahap pertama ini, peran scientist sangatlah besar. Kedua, dirancang sebuah mekanisme pengelolaan antara lain melalui draft peraturan yang terkait dengan seberapa besar boleh dilakukan penangkapan, untuk melindungi populasi tersebut. Sebagai contoh, peraturan mengenai perizinan jumlah kapal yang boleh melakukan penangkapan, yang disebut sebagai input control, atau peraturan terkait jumlah ikan yang boleh ditangkap, yang disebut sebagai output control. Tahap berikutnya adalah konsultasi publik dari draft peraturan untuk memastikan aspek sosial-ekonomi masyarakat juga dipertimbangkan sehingga ada unsur partisipatif di sini.

Selain mengatur penangkapan, ada banyak cara lain untuk menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, salah satunya pemanfaatan sumberdaya yang non-eksploitatif, seperti wisata. Nah, inisiatif seperti ini sering disebut sebagai sustainable tourism, responsible tourism, atau ecotourism (ekowisata). Jika ingin menerapkan ekowisata, kita melakukan penilaian potensi-potensi yang dimiliki suatu wilayah sehingga mengetahui wilayah mana saja yang dapat dijadikan objek ekowisata. Secara umum, penataan dan pemetaan ruang di perairan pesisir dan laut dilakukan dengan mempertimbangkan semua potensi dari suatu daerah. Apakah daerah tersebut berpotensi untuk ekowisata saja kah atau untuk penangkapan ikan saja, atau keduanya.

Dengan mengetahui potensi tersebut, maka pihak pengelola seperti pemerintah daerah, akan dapat menyusun konsep pengelolaan yang tepat, untuk kemudian mengatur mana yang akan menjadi daerah ekowisata, mana yang menjadi wilayah untuk konservasi, dan mana yang menjadi daerah penangkapan ikan. Akan tetapi, proses dalam menetapkan pengaturan ini juga dilakukan dengan memerhatikan kepentingan publik. Konsultasi publik diperlukan untuk mendapat persetujuan dari masyarakat. Setelah dikeluarkan peraturan, apakah tugas telah selesai? Ternyata tidak cukup sampai di situ, sebab kita tahu pelanggaran tetap sering terjadi sehingga perlu upaya monitoring dan penerapan sanksi bagi yang melanggar.

Secara singkat aspek saintifik, pendataan, penyusunan strategi, pemetaan, penetapan kebijakan atau peraturan, dan monitoring menjadi langkah-langkah agar bidang perikanan dan kelautan terus berkelanjutan. Selain itu, para ahli berpendapat adaptive management juga perlu dilakukan yakni dengan melakukan evaluasi secara periodik (ada yang setelah 5 tahun, dan ada yang setelah 10 tahun semenjak pengelolaan diberlakukan) guna melihat apakah pengelolaan sudah memenuhi tujuan seperti memenuhi syarat berkelanjutan serta dapat memberikan manfaat sosial-ekonomi. Apabila terdapat hal yang belum memenuhi syarat atau belum efektif mencapai sasaran, maka konsep pengolaan dapat disesuaikan kembali.

Berdasarkan literatur yang ada, saat ini di Indonesia sebagian dari sumber daya perikanan dan
kelautan sudah mulai menunjukkan trend overexploitated. Kondisi sumberdaya laut yang mulai
menurun ini ditandai dengan rusaknya terumbu karang sebagai akibat dari kegiatan manusia seperti penangkapan ikan yang merusak melalui pengeboman dan potasium sianida, polusi, dan wisata yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, akibat dari alam seperti global warming dan penyakit. Pengeboman di terumbu karang untuk menangkap ikan dilakukan tanpa menyadari rusaknya karang yang berarti menghilangkan rumah bagi ikan-ikan.

Ketidaktahuan masyarakat dan tuntutan ekonomi menjadi latar belakang perusakan terumbu karang tersebut. Jika berbicara sumberdaya perikanan di luar pesisir, yaitu di laut yang lebih dalam, maka kondisinya juga mulai mengkhawatirkan karena adanya ancaman overexploitation melalui penangkapan ikan yang berlebih sehingga diperlukan pengaturan penangkapan seperti yang kita bahas di awal tadi.

Secara umum, perairan bagian timur Indonesia yang masih lebih baik kondisinya dibandingkan dengan bagian barat Indonesia. Untuk wilayah bagian timur sendiri, seperti Raja Ampat karena dimanfaatkan sebagai objek turis mancanegara dan mendapat banyak keuntungan, kondisi terumbu karangnya masih terjaga. Untuk spesies tuna, pengelolaannya tidaklah mudah karena ikan ini bermigrasi sangat jauh (highly migratory species), bahkan hingga lintas perairan antar negara. Oleh karena itu, spesies tuna tidak hanya dikelola secara nasional, tetapi juga ada lembaga internasional yang terlibat.

Kondisi perairan juga mengalami ancaman dengan banyaknya sampah di laut (marine debris). Masalah sampah yang dulu pernah hangat dan kemudian tenggelam kini kembali hangat sehingga banyak pendanaan dan berbagai LSM yang mulai gencar lagi untuk mengatasi masalah sampah ini.

Telah cukup banyak LSM Dan program-program pemerintah dijalankan, di beberapa daerah sebagai pilot project. Kesuksesan-kesuksesan telah ada dalam skala lokal. Ada banyak sekali project dan pendanaan dari luar negeri, LSM internasional, dan LSM lokal. Selain itu, ada juga proyek antarnegara. Akan tetapi, beberapa dari proyek tersebut juga akhirnya terbengkalai setelah proyek ataupun pendanaan selesai karena pemerintah daerah belum tentu memiliki sumber dana yang cukup untuk dapat melanjutkannya. Oleh karena itu, kita sekarang mengenal istilah sustainable funding dimana kita mulai memikirkan keberlangsungan pendanaan, artinya jika proyek selesai, maka dipikirkan siapa yang akan dapat meneruskannya, apakah pemerintah daerah, LSM lokal, kelompok masyarakat, industri terkait, atau pihak lainnya.

Dalam skala nasional yang cukup kompleks, ketika proyek diaplikasikan pada satu daerah belum tentu daerah lain juga mengaplikasikannya karena perlu kebijakan secara nasional yang dapat mendasarinya. Belajar dari pengalaman (lessons learned) setelah puluhan tahun, maka sekarang kita sudah paham pentingnya konsep pengelolaan yang berkelanjutan, pentingnya sustainable funding, adaptive management, dan collaborative management. Collaborative management artinya pengelolaan dirancang dan diimplementasikan secara kolaboratif, yakni melibatkan semua pihak terkait antara lain pemerintah, akademisi, peneliti, perwakilan masyarakat, dan perwakilan pelaku usaha termasuk di dalam pengambilan keputusan, untuk memastikan berbagai aspek dan berbagai kepentingan telah dipertimbangkan sehingga dapat menguatkan dan memperkaya pengelolaan yang dilakukan.

Wawancara dengan Kak Kiki Anggaraini, Biologi UI 1992.

Leave a Reply